Sekilas KKL

KKL (Kuliah Kerja Lapangan) adalah salah satu matakuliah pilihan yang ditawarkan di Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat.
Matakuliah ini bertujuan untuk membuka wawasan, pengetahuan dan kosa kata baru mahasiswa dalam desain, arsitektur, dan lingkungan binaan melalui interaksi langsung dengan objek, arsitek, pengelola dan pengguna. Selain itu untuk melatih kepekaan mahasiswa dalam memahami kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi proses perancangan arsitektur dan lingkungan binaan yang ada di lapangan. Juga untuk mengasah kemampuan mahasiswa dalam merekam, menganalisa dan mendokumentasikan berbagai informasi yang didapat di lapangan, serta menyajikannya menjadi pengetahuan arsitektur yang menarik dan bisa diakses secara luas. Salah satu bentuk rekam informasi tersebut adalah blog ini.

Rabu, 03 November 2010

Universitas Taruma Negara

OLEH:
Akhmad Rizani (H1B105039)
Budi Rizkyawan (H1B106088)
+
Arieansyah (H1B108035)
Najib Geovani A (H1B1080__)



Lokasi KKL pertama adalah kampus 1 Untar yang berlokasi di Jl. S. Parman No.1, Grogol, Jakarta Barat. Lokasi ini terbilang mudah dicapai dari berbagai sudut di Jakarta karena sangat dekat dengan berbagai fasilitas akomodasi seperti Bus Way. Meskipun terbilang mudah dicapai bagi orang Jakarta namun tidak lah begitu bagi kebanyakan peserta KKL, hal ini dapat dirasakan dari berbagai komplain seperti: “Sepertinya kita sudah melewati kampus Untar ini tiga kali.” Hal ini dikarenakan bus yang kita tumpangi melewati jalur tol, karena itu terlebih dahulu harus keluar dari tol tersebut dan kemudian harus memutar (note: mencari jalan untuk memutar berbalik arah di Jakarta bagaikan dari bundaran Banjarbaru sampai ke Loktabat) lagi ke jalan biasa yang ternyata juga belum bisa mengakses enterance dari kampus ini. Sepertinya turun dari Bus dan menyeberang merupakan tindakan yang lebih efektif.


Kesan Pertama. Satu: Hal pertama yang saya lihat setelah masuk enterance adalah pos parkir dengan pintu gerbang seperti halnya Mall yang ada di Banjarmasin, Untuk penanganan parkir sekelas Universitas di Jakarta dengan lahan yang sempit sepertinya harus dikelola dengan serius. 
Dua: Kolam berbentuk segitiga di depan  Kampus sangatlah menarik untuk hunting foto bagi mahasiswa “udik” dari “kampung.” “Hahahahaha,” meskipun begitu saya juga termasuk mahasiswa “udik” tersebut.




Tiga: Setelah agak masuk sedikit kedalam pemandangan yang terlihat (bukan bangunannya) adalah seperti berada di luar negeri, khususnya di Beijing. Mengapa demikian? Karena dimana-mana yang terlihat hanya mahasiswa keturunan Cina saja. Menurut informasi yang saya dapat sebelumnya dari teman saya yang kuliah di Untar (yang juga blasteran Cina), jarang mahasiswa berwajah pribumi yang kuliah ke Untar.
Empat: Barulah saya memperhatikan selasar yang seperti yang ada di Foto sebelum KKL karya Ridwan Kamil. “Keren” tetapi kesannya biasa saja karena lokasi nya yang ada di Jakarta namun “yah” tetap saja lebih “keren” daripada kampus Teknik yang ada di Banjarbaru.


Perjalanan berikutnya adalah ke gedung Teknik Untar yang ada tepat di ujung selasar yang ada pada foto di atas. Sesampai di gedung “gerombolan” akademisi yang penasaran ini pun dituntun menuju lift oleh beberapa orang anggota Hima Arsitektur Untar menuju lantai 7-8 dimana Arsitektur Untar berada. 
Sayangnya lift tidak muat untuk semua anggota KKL, terpaksa dibagi menjadi dua rombongan, dan pada saat ini-lah Ari mulai menunjukan gelagat “menyesatkan diri”-nya yang akan menghiasi sepanjang perjalanan KKL seterusnya.
Ruangan yang dilihat pertama kali saat keluar lift di lantai 7 adalah: Di sebelah kiri ada Marsipala (pecinta alam), tepat di depan Lift ada BEM, tukang fotokopi, koperasi/kantin (tempat dimana Bu Prima membeli kertas beermat), dan tangga. 
Gambaran pertama yang saya dapatkan saat melihat ruang marsipala adalah seperti “kandang” yang ada di alam liar, “Liar & kreatif!” Untuk ruang BEM sendiri yang kelihatan cuma pintunya saja, saya sama sekali tidak tertarik melihat isinya. Sedang yang mengganggu disini adalah koperasi yang ada di depan lift, sambutan “selamat datang” adalah berupa kantin + koperasi yang agak kumuh. Menurut saya hal ini berkebalikan sekali dengan “sambutan” dari eksterior yang wah karena tiba-tiba hal yang dilihat pertama kali oleh bukan hal yang saya atau kita inginkan. “Jelek!”
  


Ruang-ruang berikutnya yang dapat ditemui setelah sedikit menyusuri lorong adalah beberapa ruang kelas, dua buah ruang komputer dan sebuah Galeri Bahan Bangunan. Saya menghubungi teman saya yang kuliah di Untar mengenai ada di lantai berapakah galeri bahan bangunan yang saya sebut di atas berkenaan saya lupa sewaktu menulis log ini, ternyata saya menerima jawaban yang “konyol,” katanya dia bahkan tidak tahu ada galeri bahan bangunan dan bahkan lupa ada berapa kelas di lantai 7. Hal ini menunjukan efek negatif dari penggunaan lift.(gambar kanan menunjukan posisi galeri bahan bangunan yang ada di ujung lorong pintu sebelah kiri). Tepat di ujung lorong terdapat UKM Sketsa.
Galeri bahan bangunan sesuai dengan namanya berisi bahan-bahan bangunan dan berbagai macam bentuk struktur yang digunakan sebagai percontohan saat perkuliahan yang kebanyakan terbuat dari metal. Dan terdapat juga bahan-bahan skin seperti batu alam dalam berbagai jenis, berbagai jenis kaca, dan ada juga bahan-bahan modern yang saya tidak mengenali itu bahan apa, sepertinya “benda-benda” itu didatangkan dari ruang angkasa oleh “Marsian.”

Kita pun sempat bengong dan berkeliaran “kasana-kamari” Karena ditinggal guide dari IMARTA untuk ke sekretariat jurusan yang juga berada di lantai 7 tersebut.

Perjalanan selanjutnya dilakukan dengan menaiki tangga menuju lantai 8. Pada lantai 8 ini sejauh yang saya tahu terdapat ruang–ruang yaitu: Ruang IMARTA (Ikatan Mahasiswa Arsitektur Untar), 8 buah kelas (studio), studio TA, perpustakaan, laboratorium fisika bangunan, dan sebuah ruang seperti lorong panjang yang ada diantara dua studio dan berada diatasnya yang dikatakan ruang pengumpulan sekaligus ruang dosen pengajar mata kuliah studio.


Ruang yang didatangi selanjutnya adalah ruang studio TA. Kesan pertama yang didapat adalah “WOOOOOOW! Besar Sekali!” Peserta TA arsitektur Untar pada periode ini melebihi 100 peserta, jumlah yang mengagumkan bagi kita bahkan bagi arsitektur Untar sendiri. Menurut sesumbar untuk lulus dari universitas swasta dalam hal ini jurusan arsitektur susah sekali (sepertinya kampus masih membutuhkan kucuran dana dari mahasiswanya yang membayar biaya kuliah sampai 7 (tujuh) juta persemester) sehingga membuat jumlah peserta TA yang melebihi 100 menjadi lebih “Waaah!”
Studio ini dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap yaitu bilik-bilik kerja lengkap dengan komputer bermonitor LCD 17” widescreen serta kursi yang enak “bak” kerja di “kantoran”. Ruangan berwarna putih ini dipenuhi oleh bilik-bilik yang berwarna krem pada bagian atas dan hitam pada bagian bawahnya dan puluhan lampu yang menyala secara tidak efektif pada siang hari yang menempel pada bagian bawah mezanin yang ada di tengah ruang TA. Pada bagian Mezanin yang seharusnya hanya menjadi tempat penyimpanan maket terdapat juga bilik-bilik kerja peserta TA, sepertinya ruangan benar-benar tidak mampu menampung fungsinya sebagai ruang TA. Sayangnya hari itu salah satu teman saya (beserta puluhan peserta TA lainnya) tidak masuk sehingga kita tidak bisa melihat langsung apa yang dia kerjakan. TA Untar Full Digital meski diperbolehkan untuk manual sepertinya tidak ada yang “nekat” mengerjakannya secara manual.




Ruangan yang dikunjungi selanjutnya (atau mungkin sebelumnya) adalah Lab. Fisika Bangunan. Di dalam-nya terdapat alat-alat yang digunakan untuk penelitian fisika bangunan. Ruang ini sempit sekali, jauh lebih sempit dari ruang IMARTA (yang dilihat pertama kali saat sampai di lantai 8) yang menurut saya sudah sangat sempit sekali. Sehingga saya berpendapat ruang yang disebut Laboratorium ini lebih cocok disebut gudang penyimpanan alat-alat fisika bangunan. Sepertinya Bu Indah juga mengatakan hal yang sama pada kedua mahasiswa yang terlihat pada foto disamping sehingga wajah mereka jadi terlihat sedih, “hahahaha.”

Note: “BTW “ bagi yang mengetahui nama gadis yang ada di pintu masuk lab. Itu tolong kasih tahu saya, soalnya “tipe gue banget tuh, hahahaha”

“Oh, iya!” mengenai ruang IMARTA saya sebut pada paragraf di atas sepertinya saya lupa membahasnya dan memang saya lupa bagaimana dan dimana kecuali ukurannya yang kecil dan beberapa buah banner yang saya lihat menghiasi tempat tersebut. Kalau tidak salah “dia” digabung dengan Galeri Awang yang ada pada foto di bawah ini (hal ini dikarenakan saya tidak memiliki foto mengenai ruang tersebut yang di foto penuh satu ruangan).


Selanjutnya adalah Studio Gambar. “Nah!” Ini yang disebut sebagai studio idaman, karena untuk setiap mata kuliah STUPA di Arsitektur UNTAR mereka memiliki studio gambarnya sendiri-sendiri. Untuk “anak rekos” diberi STUPA paralel yang jadwalnya berbeda dengan STUPA biasa, menurut saya hal ini dilakukan agar mengefisienkan fungsi ruang studio namun karena hal ini anak angkatan atas menjadi kurang akrab dengan anak angkatan bawah.
Studio adalah sebuah ruangan yang sangat besar yang dipartisi-partisi menjadi 8 ruang yang disebut “Banjar” dan diantaranya dibuat lorong untuk mengakses setiap banjar.
Banjar-banjar tersebut tidak panas, sepertinya bukan hanya dikarenakan flafondnya yang tinggi namun juga akibat dari penggunaan AC. Sayangnya AC yang digunakan adalah AC tua yang belum hemat energi. Sama halnya dengan meja-meja gambar yang digunakan yang sudah terlihat tua, sepertinya sejak arsitektur Untar berdiri meja itu sudah disana.


Ada sebuah mezanin panjang yang berada tepat diatas lorong diantara 8 buah banjar. Mezanin tersebut diakses dari lorong melalui tangga spiral. Ruang ini berfungsi sebagai tempat mengawasi studio, sebagai ruang dosen, dan sebagai tempat pengumpulan tugas.

Tempat terakhir yang akan dikunjungi adalah perpustakaan Arsitektur Untar. Untuk menuju perpustakaan harus melalui lorong yang berada tepat di bawah mezanin yang disebutkan sebelumnya. Pada lorong ini terdapat sisa-sisa hiasan pada plafondnya bekas acara menghiasi banjar yang konon rutin dilakukan setiap tahunnya oleh mahasiswa baru. Pada dinding lorong juga dipenuhi oleh kotak mading yang berisi pengumuman nilai, desain-desain STUPA, serta berbagai opini tentang Arsitektur UNTAR.

Sebelum memasuki ruang perpustakaan Untar rombongan dipersilahkan untuk menaruh tas-tasnya pada sebuah meja di ruangan transisi. Sepertinya ruangan tersebut sering digunakan mahasiswa Untar untuk ngobrol dan merokok.
Sesampainya di perpustakaan reaksi yang saya dapat adalah “WOOOW!” sama mengejutkannya seperti saat melihat studio TA-nya. Untuk sekelas prodi perpustakaannya besar sekali. Untuk masuk kedalam perpusnya sendiri harus melewati palang besi berputar “bak” masuk stasiun.
Buku-buku yang “dikeramatkan” di arsitektur Unlam terlihat berserakan di troli seakan-akan buku itu boleh dipinjamkan secara bebas. Sepertinya setiap buku yang ada di Arsitektur Unlam harus di fotokopi sebanyak 50 kali agar bisa menyamai total buku yang ada di perpustakaan ini.
Perpustakaan ini memiliki aksen yang unik yaitu adanya enam buah kolom baja berwarna kuning dengan komposisi yang digunakan untuk bentang lebar. Bentang lebar yang dihasilkan malah melebar ke sayap kanan dan kiri ruangan sehingga menciptakan ruang enclosure pada bagian yeng terdapat kolom baja dan ruang luas pada bagian sayap perpustakaan.
Pada bagian sayap kiri didominasi oleh tempat baca sedang pada bagian sayap kanan didominasi oleh rak buku. Sepertinya sulit untuk menyelundupkan buku keluar dari perpustakaan ini karena system masuk dan keluarnya yang satu arah.




Selanjutnya yang menjadi akhir dari perjalanan di Untar adalah Rektoratnya. Di rektorat ini akan diadakan pertemuan dengan kepala prodi Arsitektur Untar. Sayangnya kami (Riza, Najib, Arie) pergi ke bus dahulu untuk menaruh kertas beermat dan sekalian hunting foto sehingga agak terlambat menghadiri pertemuan tersebut. “Yang asyik” disini adalah kami bertiga tersesat mencari ruang pertemuannya yang ternyata ada di lantai atas dari gedung rektorat yang terlihat seperti mal ini.


Secara garis besar fasilitas-fasilitas yang digunakan prodi arsitektur di Untar adalah sama saja dengan arsitektur Unlam. Dari segi kuantitas STUPA mereka lebih banyak satu STUPA (setelah dikurangi MA 1 dan 2) dibandingkan arsitektur Unlam (sepertinya hal ini merupakan konsekuensi dileburkannya SKB ke dalam STUPA) namun mereka memiliki studio untuk setiap mata kuliah STUPA dan memiliki ruang kelas yang banyak hal ini berkesesuaian dengan jumlah mahasiswanya yang tidak dapat dibandingkan dengan jumlah mahasiswa arsitektur Unlam. Namun yang menjadi perbedaan adalah penggunaan maket. Di Untar maket digunakan bukan hanya untuk presentasi akhir tapi juga untuk keperluan studi. Tuntutan pekerjaan di Jakarta juga berpengaruh, sehingga kualitas desain yang dihasilkan jauh lebih unggul dari mahasiswa Arsitektur Unlam. Seperti halnya yang sedang dilakukan Arsitektur Unlam tahun-tahun belakangan ini Untar sudah melakukan public expose terhadap karya-karya mahasiswanya dalam mata kuliah STUPA maupun TA yang sudah dilakukan bertahun-tahun, hal ini dituangkan dalam sebuah majalah tahunan SKETSA. Untuk tahun ini majalah yang diterbitkan berjudul SKETSA Publik Expose berbeda dengan edisi-edisi sebelumnya yang berjudul Sketsa Desain. Kesimpulannya sebenarnya Prodi Arsitektur Untar tidak jauh berbeda dengan Prodi arsitektur Unlam, meski Unlam kalah dalam hal perpustakaan namun itu bukanlah kendala dengan meluas dan majunya teknologi komunikasi saat ini, sehingga yang menjadi kendala utama bagi arsitektur Unlam adalah SDM dari mahasiswanya sendiri karena saya yakin mahasiswa arsitektur Unlam dapat bersaing dengan mahasiswa lulusan arsitektur Untar. Kalau melihat dari segi bangunan dan jumlah ruang serta besaran ruang yang lebih besar dari Unlam adalah wajar karena memang seperti itu kebutuhan mereka maka seharusnya fasilitas tersebut tidaklah terlalu berbeda dengan yang ada di arsitektur Unlam.





1 komentar: