Sekilas KKL

KKL (Kuliah Kerja Lapangan) adalah salah satu matakuliah pilihan yang ditawarkan di Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat.
Matakuliah ini bertujuan untuk membuka wawasan, pengetahuan dan kosa kata baru mahasiswa dalam desain, arsitektur, dan lingkungan binaan melalui interaksi langsung dengan objek, arsitek, pengelola dan pengguna. Selain itu untuk melatih kepekaan mahasiswa dalam memahami kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi proses perancangan arsitektur dan lingkungan binaan yang ada di lapangan. Juga untuk mengasah kemampuan mahasiswa dalam merekam, menganalisa dan mendokumentasikan berbagai informasi yang didapat di lapangan, serta menyajikannya menjadi pengetahuan arsitektur yang menarik dan bisa diakses secara luas. Salah satu bentuk rekam informasi tersebut adalah blog ini.

Selasa, 02 November 2010

Kampung Naga

OLEH:
Harliana Saptadessi (H1B108058)
Wita Agustina (H1B108026)
Yulia Rahmi (H1B108083)

SUMBER:


Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kesahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat.


Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal keseluruhan ±1,5 ha yang meliputi 113 bangunan yaitu : 110 buah rumah penduduk, 1 balai pertemuan, 1 masjid dan 1 lumbung padi. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Jumlah penduduk kampung naga pada tahun 2006 yaitu 326 jiwa, dan pada tahun 2010 berkurang menjadi 304 jiwa. Penduduk kampung menurun pada tahun ke tahun disebabkan karena sebagian menikah dengan orang luar serta tinggal di luar kampung naga, dan faktor lainnya adalah meninggal dunia serta, terbatasnya lahan untuk membuat permukiman baru. Tradisi masyarakat kampung naga dalam satu rumah tidak boleh memiliki 2 KK/kepala keluarga, apabila ada yang menikah disarankan untuk tinggal dirumah sendiri baik didalam area kampung naga sendiri apabila masih ada lahan yang tersedia ataupun diluar area kampung naga. Mata pencaharian penduduk kampung naga adalah bertani dan membuat kerajinan tangan dari bahan alam yang tersedia. Pendidikan di kampung naga sebagian besar hanya sebatas SD/Sekolah Dasar dikarenakan faktor biaya. Sebenarnya di kampung naga sendiri masalah pendidikan bagi setiap warganya tidak dibatasi ingin setinggi-tingginya, hanya saja tergantung dari kemampuan individunya sendiri.
 balai pertemuan

Lembaga organisasi yang terdapat di Kampung Naga ada 2 yaitu informal dan formal. Lembaga informal meliputi kuncen (memimpin upacara adat), pundu (mengayomi / membina warga), dan lebe (mengurus jenazah warga). Sedangkan lembaga formalnya sendiri meliputi ketua RT, ketua RW, dan Kepala Dusun/desa. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga, tidak ada satu orang pun yang boleh ke hutan keramat baik mengambil ranting pohon yang jatuh dari hutan keramat sekalipun, tidak ada pengecualian dalam hal ini. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni ratusan anak tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melaluai jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.

Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Duhur, Asyar, Mahrib, dan salat Isa, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.

Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang yang diganti tiap 7 tahun sekali apabila sudah rusak, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Material bahan bangunannya adalah kayu albasiah yang banyak tumbuh disekitar kampung naga. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni karena harus menggunakan bahan-bahan alami tidak boleh menggunakan bahan kimia. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong). Pondasi rumah terbuat dari batu asli yang berasal dari alam yang dipahat membentuk kotak atau trapesium yang kemudian ditanam ±5cm kedalam tanah. Alasan digunakannya pondasi batu menjadikannya rumah panggung agar kayu sebagai material utama dalam bangunan tidak dimakan rayap dan tetap awet dalam jangka waktu lama. Sebelum di bangun sebagai rumah tanah di kampung naga sudah di kavling-kavling sesuai peraturan adat yang ada karena tanah tersebut merupakan milik adat bukan milik perorangan. Penduduk boleh membangun di kampung naga asalkan tempatnya masih tersedia, tetapi jika tidak cukup penduduk harus membangun diluar area kampung naga. Menggunakan pondasi seperti tadi selama bertahun-tahun membuat permukiman kampung naga tahan akan gempa, kebiasaan penduduk kampung naga saat gempa bukan malah keluar rumah tetapi berdiam diri didalam rumah.





Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. Dalam bangunan rumah selalu terdapat 2 buah pintu yang masing-masing bersebelahan, yaitu pintu utama (terbuat dari kayu albasiah) dan pintu dapur (terbuat dari kayu albasiah pada pinggirannya serta anyaman rotan pada bagian tengah serta tidak pernah terkunci yang bertujuan apabila terjadi kebakaran dapat terlihat dari luar dan cepat teratasi). Kampung naga tidak menerima listrik atau perangkat modern lainnya, terkecuali televisi dan handphone karena sebagai pusat informasi dunia luar dan dihidupkannya pun menggunakan tenaga aki.

Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.

Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.

Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan kepada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan kepada hari-hari naas yang terdapat pada setiap bulannya.

Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.

Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.

Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.

Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.



1 komentar:

  1. selamat malam
    saya mau bertanya mengenai kampung naga ini.
    apakah saya boleh tahu jumlah orang yang tinggal di kampung naga ini ? dan saya juga mau bertanya rata-rata yang tinggal di kampung naga ini usia remaja atau usia dewasa yah ?
    terima kasih :)

    BalasHapus